Minggu, 25 September 2011

Cerpen "Menggapai Mimpi"

"Terus... Terus. Stoppp...", Seorang tukang parkir memberikan aba-aba sambil memainkan peluitnya.
Ditengah panas terik Matahari yang bersinar, Saskia tetap semangat dalam melakukan pekerjaannya. Saskia adalah anak perempuan yang pekerja keras, dan tidak malu bekerja sebagai Tukang parkir. Meskipun dia cacat, hanya memiliki kaki sebelah kanan saja Saskia tidak pernah menyerah. Saskia mengalami kecelakaan tabrak lari. Dia ingin membantu Ibunya untuk membelikan obat karena Ibunya sakit-sakitan.
Saskia selalu mencari uang untuk makan sehari-hari karena Ayahnya sudah meninggal membuat dia menjadi tulang punggung keluarga. Dia ingin sekali bisa sekolah SMA namun terhalang karena tidak mempunyai biaya. Tak jarang Saskia di ejek, dihina oleh tetangganya. Namun Saskia tidak marah kepada mereka. Saskia membalas hinaan itu dengan senyuman. Dia tetap bersyukur atas apa yang diberikan Allah kepadanya.
Beruntung setelah kecelakaan ada seorang kakek-kakek membuatkan kaki pasangan untuknya. Kakek itu memang sering membuatkan kaki pasangan untuk penyandang cacat. "Apapun kondisimu selalu bersyukurlah kepada Sang Pencipta karena dengan selalu bersyukur hidupmu akan lebih mudah untuk dijalani", pesan si Kakek kepada Saskia waktu itu.
Diperjalanan pulang tiba-tiba Saskia berhenti disebuah Apotik untuk membelikan obat Ibunya. Setelah membeli obat untuk Ibunya, Saskia tidak sengaja menabrak seorang perempuan cantik. Dia adalah Keila. “Maaf mbak ngak sengaja”, lirih Saskia. Keila marah-marah kepada Saskia dan disaat pergi dia sengaja menyenggol bahu Saskia hingga iapun terjatuh. “Kamu ngak apa-apa kan?”, tanya seorang pemuda sembari menolong Saskia. “Iya, terima kasih”, jawab Saskia lalu pulang kerumahnya dengan kakinya yang pincang.
"Assalamu'alaikum", Sapa Saskia ketika pulang kerumah. "Wa'alaikumsalam", jawab Ibunya. "Ibu, Saskia beli obat untuk Ibu, diminum ya Bu", pinta Saskia dengan suara lembutnya. Ibupun langsung meminum obatnya. Selesai minum obat, Ibu memandangi wajah puterinya. Air matanya langsung menetes deras. "Kenapa Ibu menangis", tanya Saskia khawatir. "Maafkan Ibu ya, harusnya Ibu yang mencari uang untuk kebutuhan kita", kata Ibu. "Ibu jangan bilang seperti itu, meskipun Saskia cacat tapi aku bahagia bisa membantu Ibu. Karena hanya ini yang bisa aku lakukan", jawab Saskia sembari memeluk Ibunya.
Disaat malam tiba, Saskia melukis dikamarnya dengan lampu yang tidak begitu terang. Cita-citanya ingin menjadi Pelukis. Malam ini Saskia ingin lukisannya selesai. “Alhamdulillah, selesai juga lukisanku”, gumam Saskia sembari memberi nama dan tanda tangan di kertas lukisannya bak pelukis terkenal. Diapun segera memasang lukisannya didinding ruang tamu.
Keesokan harinya Saskia bekerja seperti biasanya. Memberikan aba-aba kepada para pengemudi mobil di area Super Market. “Terima kasih ya mbak”, ucap seorang pemuda dengan senyum ramahnya sembari memberikan uang untuk Saskia. Saskia berterima kasih kepada pemuda itu dan tak lupa diapun tersenyum. Hari sudah malam, waktunya Saskia pulang. Ditengah perjalanannya, Saskia bertemu dengan laki-laki yang sedang mabuk. Mereka mengganggu Saskia dan diapun berteriak minta tolong. “Jangan ganggu dia”, gertak seorang pemuda. Namun para pemabuk itu tidak mempedulikannya, sehingga mereka berkelahi. Akhirnya mereka bisa melarikan diri dari para pemabuk itu. Saskia dan pemuda itu lari dengan terengah-engah. Setelah jauh berlari mereka berhenti sejenak untuk mengatur nafas. “Terima kasih banyak, kamu sudah 2 kali menolongku”, tutur Saskia. “Sama-sama, kenalkan namaku Rendi. Namamu siapa?”, tanya pemuda itu. “Namaku Saskia”, jawab Saskia.
Akhirnya Saskia diantar pulang oleh Rendi. Melewati gang yang sempit merekapun sampai dirumah Saskia. Ibu Saskia meminta Rendi untuk masuk kedalam dan dibuatkannya Teh hangat. Ibu sangat berterima kasih kepada Rendi karena telah menyelamatkan puteri semata wayangnya. Secara tidak sengaja Rendi melihat sebuah lukisan yang menempel didinding ruang tamu. Rendi segera mendekatinya dan dia sangat menyukai lukisan Lumba-lumba itu.
“Maaf, ini lukisanmu ya”, tanya Rendi kepada Saskia. “Iya, itu lukisanku yang baru selesai tadi malam”, jawabnya. Karena Rendi penasaran dengan lukisan itu, Rendipun bertanya mengapa Saskia melukis Lumba-lumba. “Karena aku suka Lumba-lumba, meskipun mereka Binatang namun jiwa penolongnya sangat tinggi. Yang belum tentu dimiliki oleh setiap orang. Lukisan ini aku persembahkan untuk seorang kakek yang telah menolongku membuatkan kaki pasangan ini sehingga aku bisa berjalan walaupun tidak sempurna”, jawab Saskia. Saskia juga menceritakan tentang cita-citanya ingin menjadi Pelukis.
Rendi sangan kagum dengan Saskia meskipun dia cacat, tetapi keterbatasannya tidak membuat dia terpuruk justru membuat dia ingin bisa berkarya dan mewujudkan cita-citanya. “Kalau boleh, lukisan ini aku ikutkan di Pameran Lukisan ditempat temanku gimana? Kebetulan temanku akan membuat acara pameran, jadi lukisanmu bisa dititipkan disana  mungkin ada orang yang tertarik dengan lukisanmu”. Saskia setuju dengan saran Rendi. Rendi membawa lukisan itu untuk dititipkan dipameran.
Tiga hari kemudian Rendi menemui Saskia ditempat kerjanya. Rendi mengajak Saskia untuk menghadiri pameran yang akan dimulai besok pagi. Berhubung besok hari Minggu, Saskia libur dan ia menyetujui ajakan Rendi.
Pameran lukisan telah dibuka. Hari semakin siang dan semakin banyak pengunjung yang datang. Saskia berjalan mengelilingi seluruh ruangan yang penuh dengan lukisan indah. Semua orang memandang Saskia. Diapun merasa semua orang sedang memperhatikannya. Namun Saskia tetap berjalan dan tersenyum kepada orang yang ia temui meskipun banyak yang bersikap sinis kepadanya.
Ada sebuah lukisan yang sedang dilihat oleh beberapa orang. Mereka sangat menyukai lukisan itu. Keila yang datang kepameran itu ingin membelinya. Dan lukisan itu diperebutkan oleh tiga orang yang ingin membelinya. Rendi dan temannya yang mempunyai acara tersebut datang dan menjelaskan tentang lukisan itu. Keila kaget saat melihat Rendi ada disana. “Kamu ngapain disini Ren”, tanya Keila. “Aku menemani temanku dia  yang membuat lukisan ini”, jawabnya.
Rendi mencari Saskia dan mengajaknya ketempat lukisannya dipajang. Beberapa orang telah menunggunya. Semua orang memandang kearah Saskia. “Keila, ini Saskia yang membuat lukisan itu”, Rendi menjelaskan. Keila terkejut dan tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh Rendi. Rendi menjelaskan bahwa itu memang benar-benar lukisan Saskia. Saskia tertunduk diam karena merasa banyak orang memperhatikannya. “Kalau begitu aku tidak jadi membelinya, aku tidak mau membeli lukisan dari orang yang cacat seperti dia.”, jawab Keila kecewa dan langsung pergi meninggalkan tempat pameran.
“Maaf, sebaiknya aku pulang saja”, ucap Saskia kepada Rendi dan teman Rendi. “Aku ingin membeli lukisan ini Rp. 2.500.000,00”, sahut seorang Bapak-bapak bernama Budi yang membuat terkejut semua orang tak terkecuali Saskia. Beliaupun meminta Saskia untuk menjelaskan tentang lukisan itu. Saskia menjelaskan sama seperti saat Rendi tanya waktu dirumahnya. Bapak Budi itu terharu dan kagum dengan Saskia.
Saskia pulang dan diantar oleh Rendi. Tak lupa Rendi mengucapkan selamat kepadanya. Saskia sangat berterima kasih kepada Rendi karena tanpa Rendi tidak mungkin akan mendapatkan uang dan lukisannya terjual. Saskia tidak pernah menyangka bahwa ada yang menyukai lukisannya dan berharap bukan karena rasa kasihan karena melihat keadaanya.
Sesampainya dirumah, Saskia menceritakan semua kepada Ibunya. Dan memberikan uang tersebut kepada  Ibunya untuk berobat. Ibu Saskia menangis dan memeluk Saskia lalu mengucapkan terima kasih kepada Rendi yang selalu membantunya. Rendi berpamitan pulang kepada Ibu dan Saskia. Setelah selesai Shalat Maghrib, Ibu menemui Saskia yang sedang dikamarnya. “Nak, sebagian uang ini untuk membeli perlengkapan lukisanmu ya dan sebagian lagi di infakkan”, ujar Ibu sembari memberikan sejumlah uang. “Ya bu besok Saskia ke Masjid, tapi Saskia tidak ingin membeli perlengkapan melukis karena masih bagus”, jawab Saskia.
Keesokan harinya, sebelum berangkat kerja Saskia menyempatkan diri mampir ke Masjid dekat rumahnya sesuai amanah Ibunya. Kemudian dia pergi ketempat kerjanya dengan naik angkot. Setelah sampai diparkiran tempat kerjanya dia melihat Ibu-ibu yang terjatuh karena membawa belanjaan yang berat. Saskia lalu membantu Ibu tadi untuk membawa barang-barang belanjanya menuju mobilnya. Pak Budi tiba-tiba datang ke mobil dan melihat Saskia. “Saskia, jadi kamu kerja disini?”, tanya Pak Budi. “Iya Pak”, jawab Saskia. Ibu yang ditolong Saskia tadi adalah istri Pak Budi. Lalu Pak Budi menceritakan tentang lukisan Saskia yang ia beli waktu dipameran kepada istrinya. Kemudian Pak Budi dan istrinya berpamitan pulang tak lupa Bu Budi mengucapkan terima kasih kepada Saskia atas pertolongannya.
Ditengah-tengah Saskia bekerja tiba-tiba Saskia merasakan kesakitan pada kakinya sehingga iapun terjatuh dan sulit untuk berdiri. Kemudian dia ditolong oleh Rendi yang memang datang ingin menemuinya. Rendi ingin membawa Saskia ke Rumah Sakit tetapi Saskia menolaknya. Akhirnya Saskia pulang kerumah diantar Rendi. Saskia langsung istirahat dikamarnya. Rendi berbincang-bincang dengan Ibu Saskia. Rendi berterus terang kepada Ibu Saskia kalau dia mencintai Saskia. Rendipun meminta izin untuk melamar Saskia. Ibu bertanya kepada Rendi apa dia memang mencintai Saskia atau hanya merasa kasihan. “Biarkan Saskia saja yang menjawabnya karena itu hak dia”, jawab Ibu. Rendi menjelaskan bahwa Rendi memang mencintai Saskia.
Tak lupa tujuan utama Rendi menemui Saskia hari ini adalah ingin memberikan kabar gembira kepada Saskia. Karena tak sempat berbicara dengan Saskia, iapun mennyampaikannya kepada Ibunya. Bu, kalau Saskia mau dan Ibu menyetujui Saskia bisa bekerja di tempat kerja temanku. Saskia bisa melukis disana karena temanku juga menyukai lukisan Saskia. Sekalian ini untuk mengembangkan bakat Saskia dalam Melukis dan mewujudkan cita-citanya. Ibu bahagia mendengar kabar dari Rendi dan besok akan menyampaikannya kepada Saskia.
Semua pesan dari Rendi telah disampaikan kepada Saskia. “Alhamdulillah, kalau begitu aku akan bekerja ditempat temannya Rendi dan aku bisa melukis disana”, gumam Saskia. Namun Saskia merasa terkejut kalau Rendi mencintainya. Rendi datang menjenguk Saskia. Dan Rendi menanyakan jawaban darinya. Dalam keheningan Saskia terdiam, tak berkata sepatah katapun. Rendi dengan sabar menunggu jawaban dari Saskia. Sebuah kalimat terucap dari bibir Rendi. “Perasaan ini tulus dari lubuk hati bukan karena kasihan”, Jelas Rendi. Saskia menatap wajah Rendi dan melihat keseriusan darinya. Akhirnya Saskia menerima lamaran Rendi setelah mendapat persetujuan dari Ibu yang dicintanya.



~The End~


By : Bintang (21 September 2011)


* Ini adalah cerpen keduaku. aku tidak tahu sama sekali tentang melukis jadi endingnya agak setengah dipaksa hehehhe. Mohon saran dan kritiknya ya temans biar aku bisa lebih baik lagi dalam menulis. Terima kasih / Gomawoyo buat Reader yang sudah mau baca cerpenku.

Cerpen "Berbahagialah Walau Tanpaku"


Setelah menunaikan Shalat Maghrib dan membaca Surat Yaasin Lily langsung menuju ke jendela kamarnya melihat cuaca malam ini dan dilihatnya langit yang cerah dihiasi dengan Bintang dan Bulan bersinar.
Lily tersenyum dan bergegas mengambil Laptop kesayangannya dan berlari menuju halaman rumahnya. Dia segera duduk di kursi panjang bercat putih. Dibukanya laptop dan memutar sebuah lagu.

Lily memutar lagu Westlife “I have a dream”, lagu mancanegara yang disukai Ibunya. Dalam keheningan malam dia melihat bintang-bintang dan tersenyum saat melihatnya. Hatinya terasa nyaman dan tenang. Rasa sedihpun kian menghilang. Lily sangat menyukai suasana malam dan sudah menjadi kebiasaannya melihat langit tanpa hujan. Lily melamun ditengah dinginnya malam dan angin yang berhembus.

“Dek, ternyata kamu ada disini? Tanya Hery kakak kesayangan Lily. “Kak Hery, coba Kakak lihat ada satu Bintang yang selalu bersinar paling terang dari pada Bintang yang lain, indah banget kan kak?”, ajak Lily sembari menunjuk satu Bintang yang terang. “Subhanaallah, indah banget dek”, jawab Hery sembari menatap bintang dilangit. Mereka berdua menatap langit yang sangat cerah dan indah. Hery segera mengajak Lily masuk kedalam rumah karena mengkhawatirkan keadaan Lily. Ayahnya sudah menunggu mereka dimeja makan. “Ayah, maaf ya karena telah membuat ayah menunggu lama”. Ucap Lily kepada ayahnya. “Ngak apa-apa, jangan lupa minum obatnya ya”, Ayah mengingatkan dan Lilypun mengangguk setuju.

“Sebenarnya aku sudah bosan minum obat-obatan ini setiap hari. Sampai kapan aku harus bergantung dengan obat-obatan ini? Tapi, kalau tidak aku minum pasti Ayah dan Kak Hery khawatir dan aku tak ingin mereka mengkhawatirkanku. Mereka sudah berkorban banyak untukku. Aku ingin membuat Ayah dan Kak Hery tersenyum bahagia”, gumam Lily dalam hati.

Hari ini Lily berangkat kuliah diantar Kakaknya. Biasanya dia lebih senang naik Bus bertemu dengan banyak orang. Lily adalah sosok gadis yang sangat menyukai kesederhanaan. Meskipun keluarganya tergolong kaya tetapi dia tidak pernah memamerkan kekayaan orang tuanya kepada teman-temannya. Hanya sahabatnya Dewi yang tahu keluarga Lily . Kebanyakan teman kuliahnya menganggap Lily hanya seorang perempuan tomboy, meskipun dia berjilbab namun penampilannya yang sangat santai dan cuek sekali terhadap laki-laki membuat teman-temannya salah menilai.

“Stoooop... berhenti disini saja Kak, itu ada Dewi”, Lily meminta Hery menghentikan mobilnya. “Lily, tumben banget kamu mau dianterin kak Hery”, tanya Dewi. “Tadi dipaksa supaya mau diantar”, jawab Lily.
Mereka berdua menuju ke ruang kelasnya lantai 2 tapi tiba-tiba mereka bertemu dengan Selly yang sombong dan sering mengejek Lily. “Hey cewek Tomboy”, sapa Selly. “Namaku Lily bukan Tomboy”, jawab Lily santai. “Kenapa, ngak terima aku panggil Tomboy?”, ejek Selly sambil mendorong Lily. “Kamu apakan adikku, jangan pernah mengganggu dia lagi”, Hery memarahi Selly dengan tatapan mata yang tajam. Selly segera pergi tanpa meminta maaf kepada Lily.

Lily terkejut  melihat kakaknya datang kekampus dan menolongnya. Hery hanya mengantarkan HP Lily yang tertinggal di Mobil dan langsung berpamitan pada Lily dan Dewi karena sedang terburu-buru.  Lily mengajak Dewi keruang kelasnya namun Dewi justru melamun memandangi Hery pergi. “Wik, Dewi kamu kenapa, kok ngeliatin kakakku sampai sebegitunya”, tanya Lily penasaran. “Oh, enggak kenapa-kenapa kok ”, jawab Dewi dengan nada grogi dan pipinya memerah. “Kamu pasti suka dengan Kakakku kan!”, Ledek Lily sambil berlari dan Dewi mengejarnya.

Pulang kuliah Lily dan Dewi langsung menuju ke Toko Buku yang ada di pusat kota. Mobil, Motor dan kendaraan lainnya berlalu lalang di jalan aspal yang sangat panas dan macet. “Kapan ya Jakarta bisa terbebas dari kemacetan dan polusi?”, Gumam Lily dalam hati. Sampai di Toko Buku, Lily segera melihat Buku-buku. Beraneka ragam buku ada di Toko ini. Setelah cukup lama Lily tak sengaja menemukan Buku Pengobatan penyakit Kronis dengan Herbal. Lily tertarik dan dia ingin membeli buku itu untuk dipelajari. “Saatnya mencari novel Religi”, ucap Lily dan Dewi mengikuti kemana dia pergi. Dewi hanya mengambil satu buah Buku kemudian duduk membaca buku itu dan menunggu Lily selesai. Dewi sudah hafal dengan kebiasaan Lily yang lama sekali saat di Toko Buku.

Lily melihat sebuah Novel Religi karya Geidurrahman El Mishry berjudul “Langit Mekah Berkabut Merah”. Novel yang selama ini Lily cari namun baru dia lihat karena setiap mencari slalu sudah kehabisan Stock. Novel ini menceritakan sebuah kisah nyata tentang seorang TKW yang bekerja di Saudi Arabia. Seorang perempuan miskin yang berjuang di negara asing dan berkakhir dengan kematian. Tiada keadilan yang ia dapatkan, berusaha membela diri namun apa yang ia dapatkan hanyalah Hukum Cambuk. “Aku suka banget dengan novel True Story, akhirnya aku dapatkan”, Gumam Lily sambil mengambil Novel itu. Namun tangan Lily belum sempat mengambilnya, Novel itu sudah diambil oleh seseorang. Lily terkejut karena dia merasa lebih dulu yang mengambil Novel itu dan dia sadar Novel itu hanya tersisa satu.

“Maaf, Novel ini ingin aku beli”, ucap Lily kepada seorang laki-laki yang mengambil Novel tersebut. “Tapi, Novel ini aku duluan yang mengambilnya jadi aku yang akan membelinya”, jawab laki-laki tersebut dengan sangat santai. Lily dan laki-laki itu saling memperebutkan Novel Religi yang hanya tersisa satu buah buku. Lily mencoba untuk tetap bisa mendapatkan novel itu namun akhirnya laki-laki itu langsung membayarnya. Lily kesal dengan laki-laki tersebut. Sepanjang perjalanan pulang Lily menggerutu tentang Novel yang gagal dia dapatkan.

Sesampainya dirumah Lily terlihat kelelahan. “Mimisan lagi!”, Lily segera ke kamar mandi membersihkan darah yang keluar dari hidungnya. “Semoga semua baik-baik saja amin”, Lily mencoba menenangkan dirinya sendiri. Setelah semua beres, Lily kedapur mencari cemilan dan nonton TV bersama dengan Ayah dan Kakaknya. “Ting Tong”, Suara Bel rumah berbunyi, Lily segera membukakan pintu. Lily membuka pintu namun langsung menutupnya lagi. “Ya Allah, dia kan yang tadi siang”. Gumam Lily. “Kenapa ngak dibukain dek?”, Tanya Hery sambil membuka pintu. Lily hanya diam dan tertunduk lesu.

“Dek, kenalin ini Hendy sahabat Kakak”, Hery memperkenalkan Hendy kepada Lily.  Hendy adalah teman Kuliah sekaligus teman kerja Hery. Dia akan menginap selama Seminggu dirumahnya. “Hendy, kenalin ini adikku yang sering aku ceritakan”. Lily hanya diam dan tertunduk. Hendy diam-diam mengamati Lily. “Jadi kamu adiknya Hery yang selama ini dia ceritakan”, tanya Hendy. Namun Lily langsung lari dan menuju kekamarnya.

“Sorry ya Hen, kamu kan udah tahu adikku gimana, ya seperti itu kalau ketemu cowok apalagi baru kenal”, jelas Hery. “Ngak masalah, menurutku adikmu lucu”, jawab Hendy. Kemudian Hendy menceritakan kejadian tadi siang di Toko Buku. Hendy menyerahkan sebuah Novel yang dibungkus rapi kepada Hery dan menyuruhnya memberikan Novel itu kepada Lily namun Hendy melarang Hery kalau novel itu darinya.

Hari Minggu telah tiba. Lily ingin mengunjungi pasien yang dirawat di sebuah Rumah Sakit. Lily sering berkunjung ke Rumah Sakit itu dan membawakan sesuatu untuk mereka dan selalu ingin membuat mereka tetap semangat dan tersenyum. Lily mengurungkan niatnya karena kakaknya mengajak ke Pantai pagi-pagi. “Kamu sedang baca apaan?”, tanya Hendy. “Novel yang tadi malam kamu berikan ke Lily”, sahut Hery. “Maksud Kakak apa?”, tanya Lily kaget. Hery menjelaskan bahwa novel yang tadi malam diberikan oleh Hery itu sebenarnya dari Hendy bukan darinya. Hery tertawa dan Hendy ikut menertawakan Lily. Lily hanya diam dan berhenti membaca.

“Hery dan Hendy segera bersiap-siap untuk berenang. Lily menikmati suasana pantai dan menghirup udara segar dipagi yang cerah. “Kuberjalan ditepi pantai  menikmati udara yang segar. Sang mentari terbit dari ufuk timur. Kupandangi langit dan air laut yang sangat luas. Kutersadar terlalu jauh kumelangkah. Tak ada seorangpun disini, suasana yang sangat sepi. Kuhentikan langkahku dan duduk terpaku seorang diri ditemani belaian angin dan deburan ombak. Kutatap jauh kedepan, perasaanku tiba-tiba kosong dan hampa. Aku merasakan perih yang amat dalam. Rasa rindu yang takkan pernah terobati. Aku takkan pernah bisa mengabaikan semua ini. Aku rindu, aku merindukanmu Ibu. Waktu yang akan membuat kita semakin dekat. Tenanglah disana, aku disini selalu berjuang sekuat tenagaku untuk bertahan”
Ibu... aku merindukanmu, aku sangat mencintaimu. Kekosongan ini bukan hanya aku yang merasakannya. Ayah melebihi apa yang aku rasakan. Hatiku sangat perih saat melihat air matanya menetes. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku takut jika suatu saat aku pergi bagaimana dengan ayah? Rasa takut ini menderaku hingga menusuk keulu hatiku. Dalam kesunyian Lily terdiam hanya terdengar suara isak tangisnya. Meskipun dia sudah mencoba tidak menangis namun tak pernah berhasil. Merindukan seorang Ibu yang ia cintai dan kinipun tak ada lagi disampingnya.

“Kamu kenapa kok menangis”, tanya Hendy yang tiba-tiba datang dan mengagetkan Lily. “Kakak ngapain disini?”, tanya Lily sambil mengusap air matanya.
“Menangislah jika dengan menangis akan membuat hatimu lebih baik,  nikmatilah hidupmu dan berjuanglah melawan penyakitmu untuk orang-orang yang kamu sayangi”, Hendy mencoba menenangkan Lily. Lily terkejut karena ternyata Hendy mengetahui tentang penyakitnya bahkan Hendy mengaku bahwa dia tahu semua tentang Lily dari kakaknya yang sering menceritakan tentangnya.

Waktu membuat mereka diam seribu bahasa. Tiba-tiba Hendy menatap Lily dengan penuh perasaan.“Lily, ijinkan aku menjagamu”, ucap Hendy. “Maksud Kakak apa?”, jawab Lily. Hendy menjelaskan tentang perasaan dia terhadap Lily. Dia sangat menyayanginya dan ingin menjaganya. Namun Lily tidak percaya karena menurut Lily dia hanya merasa kasihan karena sudah tahu tentang penyakitnya. Hendy meyakinkan kepadanya bahwa dia sungguh-sungguh mencintainya. Hendy sudah lama ingin mendekatinya namun selalu dilarang oleh kakaknya karena Hery tahu kenapa selama ini Lily bersikap cuek terhadap laki-laki.  Lily tidak mau ada yang mendekatinya karena dia tidak ingin jika dia pergi nanti akan bertambah orang yang sedih karenanya. Hendy juga tahu hal ini dan dia siap apapun yang akan terjadi nanti.  “Maaf kak, aku ngak bisa”, jawab Lily sambil lari meninggalkan Hendy. Sesampainya didekat mobil Lily mimisan dan jatuh pingsan. Hery dan Hendy langsung membawanya ke Rumah Sakit tempat dimana Lily sering berobat.

Hari ini adalah hari ke 3 Lily dirawat di Rumah Sakit. Hery dan ayah selalu bergantian menjaga Lily. Selama ini Hendy setia menunggunya. Tak terkecuali dengan sahabatnya Lily yaitu Dewi. Hendy begitu setia menjaganya dan iapun sangat mencemaskan keadaan Lily. Hendy tahu penyakit Lily dan sekarang sudah Stadium akhir. Jarum jam menunjukkan pukul 23.05 WIB. Lily terbangun dari tidurnya dan melihat Hendy tertidur dikursi sampingnya yang bersandar ditempat tidurnya. Lily merasakan perutnya mual-mual dan ingin muntah. Hendy terbangun dan melihat Lily yang kesakitan langsung mengambilkan kantong plastik. “Makasih kak, maaf merepotkan”, ucap Lily dengan nada lemas.

Hari ini Lily sudah diperbolehkan pulang. Pesan Dokter harus banyak istirahat dan tidak boleh kecapekan. Lily senang sekali karena sudah diperbolehkan pulang meskipun wajahnya masih terlihat pucat. Lily, Dewi, Hery dan Hendy sudah siap hanya tinggal menunggu ayah menyelesaikan administrasi. “Semua sudah siap?”, tanya ayah yang baru saja datang. “Sudah, Lily kangen banget dengan kamar Lily”, jawab Lily senang.

“Kok belum tidur”, tanya Hery. “Ada yang ingin aku bicarakan dengan kakak”, jawab Lily. Lily ingin Hery mengatakan tentang perasaannya yang sebenarnya kepada Dewi. Karena Lily tahu kalau Hery sangat mencintai Dewi, begitupun dengan Dewi juga menyayangi Hery. Meskipun mereka tidak pernah mengatakan perasaan mereka kepadanya namun Lily menyadari akan hal itu. Dan Lily juga tahu kenapa kakaknya tak pernah jujur kepada Dewi karena Hery takut melukai hati Lily. “Dek, kakak takut jika suatu waktu kakak mengabaikanmu”, jawab Hery.  “Kakak jangan bilang begitu, kakak menjaga Dewi itu artinya menjaga aku juga, jadi kakak harus memikirkan kebahagiaan kakak jangan selalu mengutamakan aku”, pinta Lily dan memeluk kakaknya.

Hery berjanji akan menjaga Dewi untuknya. Akhirnya Hery menanyakan tentang hubungan Lily dan Hendy. Hery menjelaskan bahwa Hendy memang menyayangi Lily sudah lama. Hery meminta maaf kepada Lily karena dia sering menceritakan tentangnya kepada Hendy tanpa seijinnya. Hendy juga melihat foto-foto Lily yang tersimpan di Laptop. “Dia meyayangimu setulus hatinya dek, dan sekarang dia bela-belain menginap dirumah kita karena ingin menjagamu”, jelas Hendy. Lily menyadari kondisinya sekarang dan dia merasa semakin lemah. “Aku ngak mau ada orang yang bertambah sedih saat aku pergi nanti, aku ingin orang-orang yang kusayangi tetap bisa hidup bahagia walau tanpaku dan  tetap tersenyum”, Jawab Lily dengan isakan tangis. “Kakak mengerti perasaanmu, Kamu harus kuat kita akan mengusahakan yang terbaik untukmu, jangan menyerah ya”, Hery mencoba menyemangati Lily.

Hari ini Lily akan menjenguk pasien di Rumah Sakit seperti biasanya. “Lily, kamu mau kemana? Kata Dokter kan ngak boleh kecapekan”, tanya Ayah. “Aku ingin menjenguk mereka lagi di Rumah Sakit, aku sudah lama ngak mengunjungi mereka”, jawab Lily.
Lily diberi sejumlah uang oleh ayahnya karena ayahnya tahu Lily sering membawakan sesuatu untuk para pasien di Rumah Sakit itu khususnya pengidap penyakit Kanker dan Tumor. “Makasih, Lily sayang ayah”, jawab Lily senang sambil memeluk ayahnya.

Hendy dan Hery hanya tersenyum melihat Lily bahagia. Merekapun segera berangkat menuju ke Rumah Sakit namun sebelumnya mereka mampir kerumah Dewi untuk menjemputnya. Hery menyetir dan Hendy duduk disamping Hery. Lily dan dewi duduk dibelakang sedang bercanda gurau. “Kak, putar lagu favoritku donk”, pinta Lily. “Ok boz”, jawab Hery sambil memutar DVD Kim Hyun Joong yang berjudul Please Be Nice To Me. Tak lama kemudian mereka sampai di Rumah Sakit.

Lily membawa Balon, Novel, dan buku-buku Do’a. Mereka sampai disebuah kamar yang ada 2 anak kecil dirawat. Lily memeluk mereka dan mencium keningnya. “Kak, kok lama ngak kesini?”, tanya salah satu anak kecil itu. “Maaf ya dek, kakak akhir-akhir ini sibuk jadi baru sempat kesini sekarang”, Jawab Lily sambil memberikan Balon kepada mereka. Lalu Lily menjenguk pasien lain, Pengidap penyakit Tumor dan Kanker. “Ya Allah, jangan sampai air mataku jatuh dihadapan mereka, Sesungguhnya aku sangat membenci dua penyakit ini”, gumam Lily dalam hati. Lily membagikan Novel kepada mereka yang masih remaja dan juga Buku-Buku Do’a untuk Ibu-Ibu. Hery, Dewi dan Hendy membantu Lily membagikan Buku-buku itu. Mereka bertiga sangat kagum dengan yang dilakukan Lily. Mereka menghibur pasien-pasien yang ada di Rumah Sakit itu. Hendy memperhatikan Lily, dan melihat Lily tersenyum senang dan Hendypun sangat bahagia melihatnya. Disaat mereka semua tersenyum tiba-tiba seorang Ibu melihat darah keluar dari hidung Lily. “Lily, kenapa kamu mimisan?’ tanya seorang Ibu mencemaskannya. “Lilypun segera membersihkan darah yang keluar dari hidungnya menggunakan Tissue. “Ngakk apa-apa kok bu, mungkin karena aku kecapekan”, jawab Lily. Dan mereka segera pamit pulang karena kondisi Lily yang semakin melemah.

“Hen, tolong jagain Lily sebentar ya aku mau mengantar Dewi pulang dulu”, pinta Hery dan  Hendypun mengangguk. “Lily, kamu harus bertahan dan jangan menyerah, Berilah aku sedikit kesempatan itu untukku”, Gumam Hendy sambil memegang tangan Lily. Tanpa sengaja air mata Hendy menetes ditangan Lily. Dan Lilypun merasakannya dan diapun terbangun. “Kakak kenapa menangis?”, tanya Lily. “Ngak kenapa-kenapa kok, kakakmu sedang mengantarkan Dewi pulang”, jawab Hendy sambil menyeka air matanya.
 “Lily, Aku sangat menyayangimu setulus hatiku. Percayalah!”, ucap Hendy. “Aku percaya, tapi aku takut kak”, jawab Lily. “Kakak kan sudah tahu jelas dengan keadaanku, Penyakit Leukimia telah menggerogoti tubuhku dan jangan menyia-nyiakan hidupmu hanya karena aku”, Jelas Lily. “Aku mencintaimu jadi ngak ada yang sia-sia untukku, Aku bahagia jika kamu bahagia”, jawab Hendy.

Lily memberikan kesempatan itu kepada Hendy karena Lily juga sadar bahwa dia juga menyayangi Hendy. Lily meminta Hendy untuk berjanji bila suatu saat dia pergi jauh, Hendy harus tetap berbahagia walau tanpanya. Hendy sangat bahagia dan dia berjanji.  “Nah gitu dong”, ucap Hery yang tiba-tiba datang sembari bertepuk tangan. “Selamat ya Hen dan kamu harus jagain adikku”. “Kakak sendiri gimana”, tanya Lily penasaran. “emmm... Kakak sudah jadian dengan Dewi”. Lily sangat senang mendengar berita dari kakaknya dan langsung menelpon Dewi mengucapkan selamat kepada Dewi.

Tiga bulan kemudian. Hendy dan Dewi datang kerumah Lily karena hari ini Ulang Tahun Lily. Mereka makan bersama dan Lily sangat bahagia mendapat kado dari ayahnya sebuah kamera Digital. Mereka tertawa dan Lilypun langsung menggunakan kameranya untuk memotret. “Terima kasih karena telah menjagaku dan berkorban banyak untukku. “Apapun yang terjadi kalian harus tetap bahagia meskipun tanpaku”, pinta Lily.

Lily pergi kehalaman rumah dan duduk dikursi panjang seperti biasanya dia melihat bintang-bintang yang sangat indah. “Udaranya begitu dingin kenapa ngak pakai jaket”, Ucap Hendy sambil memberikan jaket kepada Lily. “Melihat Bintang membuat perasaanku sangat nyaman dan tenang,  Bolehkah aku tidur bersandar dibahumu”, pinta Lily. “Tentu saja Boleh”. Jawab Hendy. Suasana menjadi hening, Lily tertidur dibahu Hendy dan Hendy menatap Bintang yang ada dilangit sambil menggenggam tangan Lily. “Andai aku bisa memetik satu Bintang itu, aku akan memetikannya untukmu”, ucap Hendy. Tiba-tiba tangan Lily lemas dan lepas dari genggaman Hendy. “Lilyyy, kamu kenapa? Ayo bangun... bangun”, Hendy mencoba membangunkan Lily sambil menepuk pipinya namun Lily tak kunjung bangun. Hendy segera memanggil Ayah, Hery dan Dewi. Mereka hanya bisa menangis karena Lily telah meninggalkan mereka. Ayah Lily sangat terpukul karena puteri kesayangannya meninggalkannya.

Selesai pemakaman Ayah, Hery, Dewi dan Hendy berkumpul diruang tamu diiringi dengan suara isakan tangis mereka. Tiba-tiba Dewi membawa Laptop dan sebuah Flashdisk  yang dititipkan Lily kepadanya. Dewi segera membuka flashdisk itu dan hanya ada 1 folder berjudul “Love Ya” berisikan file Ms. Word dan 1 foto. Kemudian Dewi membuka isi foto tersebut dan menunjukkan ke Ayah, Hery dan Hendy. Foto itu adalah foto Lily bersama mereka berempat yang sedang tersenyum bahagia. Kemudian Dewi membacakan tulisan di Ms. Word. Surat itu berisikan :

Untuk kalian yang aku sayangi.
 Ayah, Kak Hery, Kak Hendy dan juga sahabatku Dewi.

Surat ini aku buat disaat aku merasakan kelelahan yang begitu dalam. Meskipun aku ingin selalu bertahan berada ditengah-tengah kalian namun apa daya jika Takdir tidak mengijinkan? Bukankah manusia hanya bisa merencanakan dan Allah SWT sebagai penentunya? Aku merasa inilah titik akhir dari perjuanganku. Tubuhku terasa lemas tak berdaya.

Terima kasih banyak untuk Cinta , kasih sayang dan pengorbanan kalian untukku. Maafkanlah segala kesalahanku.
Terima kasih untuk kesabaran dan ketelitian kalian dalam merawatku.
Maafkanlah aku yang tak bisa membalas semua itu.
Terima kasih untuk senyum kalian yang begitu menawan dimata dan hatiku.
Karena itu adalah bagian dari kekuatanku.

Lanjutkanlah apa yang biasa aku lakukan.
Buatlah mereka tersenyum, mereka-mereka yang mempunyai nasib sepertiku.
Disaat kalian melihat senyum mereka berarti itu adalah senyumku juga.

Ingatlah dengan janji kalian.
 Janji yang pernah aku minta.
Tetaplah tersenyum dan lanjutkan hidup dengan semangat.
Berbahagialah walau tanpaku.

I Love You ^_^





~The End~



By : Bintang (12 Juli 2011)

* Ini adalah Cerpen pertamaku. Terinspirasi dari JUDUL Lagu Korea "Haengbhokagilbarae"

Terima kasih / Gomawoyo untuk Reader yang sudah membaca Cerpenku. Mohon saran dan kritiknya ya.

Selasa, 13 September 2011

Menulis Dengan Hati

Sejenak ku menutup mata.
Ditengah keheningan yang tercipta.
Mencari inspirasi yang ada.
Mengingat semua yang terlupa.

Hingga tangan ini mampu tuk menggoreskan kata.
Menjadi kalimat yang sederhana.
Berujung dengan sebuah cerita.
Semua tentang kita.

Kehidupan yang tak sejalan dengan harapan.
Mimpi yang tak kunjung digenggam.
Adalah sebuah cerita yang sering ditemui banyak orang.
Dijadikan penyemangat untuk mengarungi kehidupan.

Tangan ini terasa kaku ataukah lemas untuk menuangkan.
Sebuah ide yang tak kunjung aku dapatkan.
Semua hilang dan menghilang.
Lenyap tak berbekas.

Hanya dengan ketulusan dan keikhlasan.
Semua menjadi lebih mudah.
Tanpa ikatan namun kemauan.
Tanpa paksaan namun keyakinan dari Sebuah Hati.
Hati yang murni dan suci.

Satu kunci untuk menggerakkan sang pena.
Satu kunci untuk menuliskan sebuah cerita.
Hingga kertas putih tampak bertuliskan hitamnya tinta.
Menulis dengan hati dengan dasar Kujujuran itulah kuncinya.

Teringat dengan Notes seorang Sahabat
Sebuah kalimat yang sangat bermakna.
“Menulis dengan hati jauh lebih bermakna dari seribu kaidah sastra, karena tak semua pembaca itu sastrawan, namun semua pembaca memiliki hati”

Karenanya aku ingin membuat kertas ini menjadi lebih berwarna.
Dengan cerita-cerita yang akan dituangkan.
Entah apa yang ada dipikiran.
Entah apa yang ada dihati.
Semua tertuang dalam bentuk kisah dengan bahasa yang tak begitu aku pahami.
Namun inilah bahasa hati.
Bahasa hati dan perasaan.
Semua tergerak dan terjawab oleh sang pena mencair diatas kertas putih.





Bintang, 16 Juli 2011